Saturday, November 8, 2008

Syaikh Abdul 'Aziz Ibn Baz: Si Buta yang 'Celik'


Biografi

Nama beliau adalah: Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdul Aali Baz. Beliau dilahirkan di Riyadh, Arab Saudi pada tanggal 12 Dzulhijjah 1330 Hijriah. Pada mulanya beliau bisa melihat, kemudian pada tahun 1336 H, kedua matanya menderita sakit, dan mulai melemah hingga akhirnya pada bulan Muharram tahun 1350 H kedua matanya mulai buta. Kata beliau:

"Akan tetapi saya bersyukur atas musibah tersebut. Saya mengharap kepada Allah azza wa jalla agar menggantikan kedua mataku dengan keilmuan di dalam mengharungi dunia ini dengan pahala yang banyak di hari akhirat kelak. Sebagaimana Allah azza wa jalla telah menjanjikan hal itu melalui lisan Rasulullah SAW. Juga mengharap kepada Allah azza wa jalla menjadikan akhir segalanya berupa kebaikan di dunia dan di akhirat." [1]

Pendidikan

Beliau telah berkata: "Saya memulai menuntut ilmu ini sejak kecil. Saya dapat menghafal al-Quran al-Karim sebelum baligh..." [2]

Sebagai putra seorang ulama' pendidikannya lebih banyak tertuju pada pelajaran Al-Qur'an dan Hadits dibawah bimbingan keluarganya. Kemudian
beliau belajar ilmu-ilmu syar'i dari para ulama' besar di Riyadh, di antaranya :

* Syaikh Muhammad bin Abdullathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,
* Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Hasan bin Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab [qadhi (hakim) Riyadh],
* Syaikh Sa’ad bin Hamd bin Faris bin ‘Athiq [qadhi Riyadh]
* Syaikh Hamd bin Faris [wakil Baitul Mal Riyadh],
* Syaikh Sa’ad Waqqash al-Bukhari [guru tajwid beliau pada tahun 1355 H],
* Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullathif Aalu as-Syaikh [tempat beliau menimba berbagai macam disiplin ilmu Syari’at Islam mulai tahun 1347-1357 H].

Sifat Dermawannya

Dermawan adalah di antara sifat yang dimiliki oleh para nabi ‘alaihimussalam.

Begitu pula halnya nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling dermawan, makhluk yang paling memiliki sifat memberi, orang yang paling agung pemberiannya, dan manusia yang paling sempa dalam memberi, sehingga Jabir radhiallahu’anhu berkata:


Artinya: "Belum pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai sesuatu (kepadanya) kemudian beliau menjawab: ‘Tidak’."

Dari Anas radhiallahu‘anhu beliau berkata:


Artinya: "Sesungguhnya seorang laki-laki telah meminta kambing (yang jumlahnya) memenuhi (lembah) antara dua gunung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau memberikannya kepada orang tersebut, lalu laki-laki itu datang menemui kaumnya dan berkata,’Wahai kaumku! Masuklah kamu sekalian ke dalam Islam, demi Allah! Sesungguhnya Muhammad akan memberikan suatu pemberian (bila kamu sekalian masuk Islam) dan dia tidak pernah takut miskin (karena memberi)".


Shahih Muslim hadits no. 5975 [syarah Imam Nawawi cet. Dar al-Ma’rifah, Beirut Tahun 1418 H/ 1997]


Disebutkan dalam “Imamul ‘Ashar ibnu Baz wa al-Albani” hal. 13, bahwa pernah seorang mujahid diutus menemui beliau (untuk meminta sumbangan), namun yang ada adalah sebuah benda yang sangat penting miliknya, maka beliau pun menjual barang tersebut dan memberikan hasil penjualannya kepada mujahid itu untuk dimanfaatkan di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.

Beliau tidak mengizinkan bagi orang yang datang berkunjung kepadanya untuk minta izin pulang, kecuali setelah makan siang atau makan malam bersamanya, istimewa apabila yang berkunjung itu adalah musafir atau datang sengaja dari daerah jauh. [Imamul ‘Ashar Dr. Nasir Zahrani hal. 99]

Berkata salah seorang sahabat karib as-Syaikh bin Baz yang bernama Sa’ad bin Abdul Muhsin (orang ini lebih tua sepuluh tahun dari as-Syaikh bin Baz):

"Dahulu ketika masa mudanya, beliau (Bin Baz) belajar dengan as-Syaikh al-‘Alaamah Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Apabila pulang dari belajar dan di jalan bertemu dengan seseorang penuntut ilmu atau orang yang merantau atau tamu ataupun tetangga, maka beliau berusaha sekuatnya untuk mengajak orang tersebut masuk ke rumahnya untuk makan bersamanya, padahal beliau adalah seorang yang miskin dan kurang persediaan makanan, hal ini terus-menerus berkelanjutan selama hidupnya, bahkan beliau merasa sedih apabila tidak ada seorang tamu pun yang menyertainya makan."


Tiga tahun sebelum wafatnya beliau, setelah bermusafir ke Mekkah dan kembali ke kota Thaaif, seperti biasanya beliau membuka pintu rumah dengan harapan agar orang-orang datang. Akan tetapi ternyata tamu dan orang-orang fakir miskin tidak ada yang datang ke rumahnya (untuk makan bersamanya) karena kebanyakan mereka tidak mengetahui beliau telah kembali, serta-merta beliau pun berduka-cita sembari bertanya kepada orang-orang yang membantunya,

"Apa hal yang terjadi pada orang-orang sehingga mereka tidak datang? Apakah kamu sekalian katakan bahwa saya kepenatan (baru pulang), ataukah kamu sekalian pernah menutup pintu di hadapan mereka, atau adakah sebab lain?"

Mereka menjawab,

"Wahai Tuan Syaikh, kebanyakan mereka belum mengetahui kalau Anda telah sampai dan sebagian yang lain ingin untuk beristirehat pada hari-hari raya pertama ini."

Beliau berkata, "Pergi beritahukan masyarakat, para tetangga bahwa syaikh mengundang kamu sekalian, dan rumahnya terbuka untuk anda sekalian."

[Imamul ‘Ashar Dr. Nasir Zahrani hal. 101]


Semua sejajar di sisinya:

Pernah suatu ketika sebahagian orang datang menemui beliau dan berkata kepadanya,

"Wahai Tuan Syaikh, ada sebagian orang berpangkat berpendapat bahawa ketika beliau duduk bersama orang-orang ketika makan siang atau makan malam dan lainnya, yang duduk menemui Tuan ada buruh, pegawai, ada Arab ada pula orang ‘ajam dan orang-orang miskin, bahkan ada pula orang-orang hitam; hal seperti ini membuat kurang enak di hati para penziarah dan tamu-tamu besar. Maksud kami bukanlah mengusulkan supaya Tuan tidak usah memberi orang-orang tersebut makan dan menutup pintu bagi mereka, akan tetapi alangkah baiknya kalau bagi mereka disediakan tempat makan dan minum tersendiri sedangkan Tuan dan orang-orang yang istimewa berada pada suatu tempat yang khusus pula."

Seketika itu muka Syaikh langsung berubah, (muka tidak senang) karana mendengar ucapan orang tersebut, dan beliau berkata,

"Miskin… miskin…(aduhai malangnya, aduhai malangnya), orang yang berpendapat seperti ini belum mengecap lazatnya bergaul dengan orang-orang miskin dan makan bersama orang-orang fakir, saya tidak akan meninggalkan kebiasaan ini dan saya tidak memiliki orang-orang istimewa. Bagi yang sanggup duduk bersama saya dengan ditemani oleh orang-orang fakir miskin itu silakan duduk, barangsiapa yang tidak sanggup, maka tidak ada paksaan."

[Imamul ‘Ashar Dr. Nasir Zahrani hal. 93]


Ibnu Baz sebagai bapak bagi orang miskin

Seorang miskin dengan pakaian ala kadarnya yang berasal dari Afrika datang menanyakan beliau pada musim haji yang terakhir (musim haji sebelum beliau meninggal dunia). Orang tersebut bertanya,

"Mana as-Syaikh Bin Baz?", maka dikatakan kepada orang tersebut, bahawa beliau tidak sanggup pergi haji.

Orang negro itu balik ditanya, "Anda mau apa?"

Orang itu menjawab, "Saya tidak menginginkan apa pun dari anda, hanya saya adalah seorang miskin sedangkan as-Syaikh adalah bapak bagi orang-orang miskin."

[Imamul ‘Ashar Dr. Nasir Zahrani hal. 190]


Sebagai penutup kami merasa perlu menyampaikan bahwa riwayat-riwayat ini mungkin hanya satu per seribu riwayat yang mengungkapkan tentang alangkah indahnya kehidupan beliau. Mudah-mudahan dalam kesempatan lain ada di antara saudara kita bersedia menggoreskan tintanya tentang keilmuan, ketakwaan, amanah, santunnya beliau dan lain-lainnya.

Sehingga tersimpullah bagi kita yang pemula, "Kalau sekiranya Ibnu Baz seorang imam kaum Muslimin yang hidup seribu lima ratus tahun setelah Rasulullah wafat, maka bagaimana halnya dengan orang yang menurunkan warisan semua ilmu para ulama, yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam?, semoga Allah Ta’ala mengaruniakan pemahaman yang benar dan ketakwaan yang sempurna kepada kita dan kepada seluruh kaum Muslimin, amin!"

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Kerjayanya

Jabatan yang pernah beliau duduki

* Qadhi (Hakim) di daerah al-Kharaj semenjak tahun 1357-1371 H,
* Mengajar di Ma’had (Universiti) al ‘Ilmi di Riyadh pada tahun 1372 H dan fakultas Syari’ah di Riyadh setelah dibentuknya fakulti tersebut pada tahun 1373H (dalam mata pelajaran ilmu fiqh, tauhid dan hadits, dan jabatan ini beliau tekuni sampai tahun 1380 H).
* Pada tahun 1381 H ditunjuk sebagai wakil Rektor Universiti Islam Madinah hingga tahun 1390 H, diangkat menjadi Rektor Universiti tersebut pada tahun 1390 H setelah wafatnya al-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu as-Syaikh pada bulan Ramadhan 1389 H, kemudian beliau tetap memegang jabatan tersebut sampai tahun 1395 H.
* Pada tanggal 14-10-1395H keluar Surat Keputusan Kerajaan untuk mengangkatnya sebagai pimpinan umum untuk bagian Pembahasan Ilmiyah, Fatwa Dakwah dan Irsyad (kemudian tersebut berubah menjadi Mufti Umum Kerajaan setelah dibentuknya Kementrian Urusan Islam, Waqaf, Dakwah dan Irsyad pada tahun 1414 H).

Selain itu beliau menjawat sebagai anggota pada beberapa Majlis Islamiyah yang berskala internasional, seperti:

* Anggota Perkumpulan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi.
* Pengerusi Badan Tetap Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa pada lembaga di atas.
* Anggota dan ketua majlis pendiri Rabithah Alam Islami.
* Ketua pada Majma’ al-Fiqhi al-Islami yang berpusat di Makkah yang merupakan bagian dari Rabithah Alam Islami.
* Anggota pada majlis tertinggi di Universiti Islam Madinah.
* Anggota pada majlis tinggi Da’wah Islamiyyah Kerajaan Arab Saudi.

Karya Karya Beliau

Karangan-karangan beliau, sebagian kecilnya antara lain:

* Al-Fawaid al-Jalilah fi al-Mabahits al-Fardhiyah
* At-Tahdzir minal Bida’
* Al-‘Aqidah ash-Shahihah wamaa Yudhaadhuha
* Al-Jihad fi Sabilillah
* Ad-Da’watu Ilallah wa Akhlaaqu ad-Du’at
* Al-Jawabul Mufid fi Hukmi at-Tashwiir
* Wujuubu Tahkiimi Syar’illahi wa Nabdzu maa Khaalafahu

[Selebihnya silakan rujuk buku Syarah Aqidah Ash-Shahihah, karangan Abdul Aziz B Fathi B As-Sayyid A'id Nada, terbitan Pustaka As-Sunnah, m/s xii- xiii]

Kewafatannya

Beliau wafat pada subuh Kamis 27 Muharram 1420 H di kota Thaif, dishalatkan pada hari Jumaat (28 Muharram 1420 H) di Masjidil Haram, dan dimakamkan di pemakaman al-‘Adl Makkah.

رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ Nasyeed khas sebagai mengenang jasa beliau: www.youtube.com/watch?v=hhA_wHxWflI


Sumber:
http://al-fikrah.net/
(suntingan dan tambahan oleh Ibn Mustofa)

[1] Syarah Aqidah Ash-Shahihah, Abdul Aziz B Fathi B As-Sayyid A'id Nada, Pustaka As-Sunnah, m/s ix- x
[2] Syarah Aqidah Ash-Shahihah, Abdul Aziz B Fathi B As-Sayyid A'id Nada, Pustaka As-Sunnah, m/s x

P/S: Sukar untuk mencari sosok Da'ie yang begitu mengamalkan sunnah yang satu ini; memuliakan dan meraikan tetamu tak kiralah samada yang dikenali ataupun tidak. Masyarakat Arab lebih menekuni sunnah ini berbanding masyarakat Melayu di Malaysia. Tak percaya? Cubalah mendekati mereka.

Pernah suatu ketika saya menziarahi seorang sahabat berasal daripada Jordan, dia ada bertanyakan saya mengapa orang Melayu tidak 'mesra' tetamu? Dia menambah, kalau di negaranya, jika ada tetamu hattapun yang tak dikenali lantas akan ditarik masuk ke rumah dahulu baru bertanyakan hal-hal yang lain.

Alasan yang lazim digunakan masyarakat kita adalah 'dah berkeluarga', 'tak kenal', dan yang seumpama dengannya. Wallahu'alam, saya sendiri ada seorang teman yang pernah dipelawa untuk tinggal menetap sementara di rumah teman Arabnya yang telahpun beranak-pinak ketika beliau sedang menjalani industrial training. Bayangkan.

0 comments:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template