Sunday, November 9, 2008

Tawheed; Inti Dakwah Para Nabi



Sumber: http://asysyariah.com/

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian." [Al-Anbiya: 25]

Penjelasan Mufradat Ayat

رَسُوْلٍ

"Seorang rasul." Yang dimaksud rasul di dalam ayat ini bersifat umum, meliputi setiap yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dari kalangan para nabi maupun rasul. Sedangkan secara istilah, terdapat perbezaan antara makna nabi dan rasul. Sebab rasul memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari nabi, atau dengan ungkapan lain bahawa setiap rasul pasti seorang nabi namun tidak setiap nabi memiliki gelaran sebagai rasul.


Para ulama berbeza pendapat dalam mendefinisikan keduanya. Sebahagian ada yang mengatakan perbezaan di antara keduanya adalah bahawa nabi adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya. Sedangkan rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya. Pendapat ini dijadikan sandaran oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya.

Ada pula yang mengatakan bahawa nabi adalah seorang yang diutus dengan membawa syariat dan diperintahkan untuk disampaikan kepada kaum yang telah siap menerimanya, atau tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan rasul adalah seseorang yang diutus dengan membawa syariat dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum yang menyelisihinya.


Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh. Namun yang nampak bahawa kedua pendapat ini saling berkaitan. Ada lagi yang membezakan dengan cara yang lain, wallahu a’lam.

[Syu’abul Iman, Al-Baihaqi, 1/150, Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 1/124, Syarah Al-Ushul Ats-Tsalatsah Shalih Alusy Syaikh dari kaset yang ditranskrip, Kitab At-Ta’rifat, Al-Jurjani, hal. 307]

نُوْحِي

"Kami wahyukan", dengan huruf nun di depan. Ini berdasarkan qira`ah Hamzah, Hafsh, dan Al-Kasa`i. Adapun yang lainnya membaca dengan lafadz (يُوحَى) (diwahyukan kepadanya) dengan bentuk majhul yang didahului dengan huruf ya.

[lihat Tafsir Al-Qurthubi dan Al-Baghawi
]

Wahyu yang dimaksud di dalam ayat ini adalah khabar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-hamba yang memang dikehendaki-Nya berupa hidayah dengan cara cepat dan tersembunyi. Definisi ini dibawa kepada setiap wahyu yang ditujukan kepada para nabi dan rasul-Nya. Wahyu memiliki makna selain yang tersebut di atas, di antaranya:

- Wahyu yang bermakna ilham dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada fitrah manusia, seperti wahyu yang ditujukan kepada Ibu Nabi Musa ‘alaihissalam.

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوْسَى أَنْ أَرْضِعِيْهِ

"Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa: ‘Susuilah dia’." [Al-Qashash: 7]

- Wahyu yang bermakna ilham yang diperuntukkan bagi watak dan tabiat haiwan tertentu, seperti wahyu yang diberikan kepada lebah dalam firman-Nya:

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَ

"Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia’." (An-Nahl: 68)

[Lihat kitab Mabahits fi ‘Ulumil Qur'an karangan Manna’ Al-Qaththan hal. 26-27, Maktabah Wahbah, cet. ke-12]

فَاعْبُدُوْنِ

"Sembahlah Aku." Maknanya adalah "tauhidkanlah Aku." Setiap lafadz di dalam Al-Qur'an yang menyebutkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka maknanya adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadahan kepada-Nya. [Tafsir Ibnu Katsir, 1/58]

Adapun makna ibadah secara istilah adalah nama yang mencakupi setiap apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diredhai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir dan yang batin. [Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 10/149]

Penjelasan Ayat

Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa risalah yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul adalah satu, yang menjadi inti dakwah mereka. Yaitu menyeru umatnya untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan segala jenis peribadahan kepada selain-Nya. Di antara ayat yang semakna dengan ayat ini adalah firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ فَسِيْرُوا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.’ Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)." [An-Nahl: 36]

Al-Imam Ath-Thabari mengatakan ketika menjelaskan surah Al-Anbiya ayat 25:

"Tidaklah Kami utus sebelum engkau seorang rasul kepada satu umat dari umat-umat yang ada, wahai Muhammad, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahawa tidak ada sesembahan di langit dan bumi, yang benar penyembahan kepadanya kecuali hanya Aku. Maka sembahlah Aku, ikhlaskan ibadah hanya untuk-Ku, sendirikan Aku dalam uluhiyyah (penyembahan)." [Tafsir At-Thabari]


Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu mengatakan dalam menjelaskan ayat ini:

"Setiap rasul sebelum engkau bersama dengan kitab-kitab mereka, inti dan pokok risalah mereka adalah perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan menjelaskan bahwa sesembahan yang haq itu hanyalah satu dan sesembahan yang selain Dia adalah batil." [Tafsir Al-Karim Ar-Rahman]


Qatadah rahimahullahu mengatakan:

"Para rasul diutus membawa ikhlas dan tauhid, tidak diterima amalan apapun dari mereka hingga mereka mengucapkan dan mengikrarkannya. Sedangkan syariat mereka berbeza-beza. Dalam Taurat terdapat syariat tersendiri, dalam Injil juga terdapat syariat tersendiri, dan dalam Al-Qur'an juga terdapat syariat tersendiri, ada halal dan haram. Dan yang dimaksud dari ini semua adalah memurnikannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentauhidkan-Nya." [Tafsir At-Thabari]


Syaikhul Islam berkata:

"Tauhid yang dibawa oleh para rasul mengandungi penetapan bahawa uluhiyyah hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, agar seseorang bersaksi bahawa tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia. Sehingga dia tidak menyembah kecuali ha
nya kepada-Nya, tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Nya, tidak ber-wala` (berpatuh) dan bersikap bara` (membenci) kecuali kerana-Nya, tidak beramal kecuali hanya untuk-Nya." [Fathul Majid, hal. 38-39]

Seluruh Risalah para Nabi di atas Tauhid, walaupun Syariat Mereka Berbeza

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahawa inti risalah yang dibawa oleh setiap nabi adalah sama, iaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak terjadi perbezaan di antara mereka dalam hal ini. Sebahagian ayat Al-Qur'an menyebutkan lebih terperinci tentang dakwah mereka. Seperti ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam firman-Nya:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ

"Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagi kalian selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kalian tidak menyembah Allah), aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)." [Al-A’raf: 59]

Demikian pula dakwah Nabi Hud ‘alaihissalam kepada kaumnya, sebagaimana firman-Nya:
Italic
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوْدًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya. Maka mengapa kalian tidak bertakwa kepada-Nya?’." [Al-A’raf: 65]

Demikian pula dakwah Nabi Shalih ‘alaihissalam, sebagaimana firman-Nya:

وَإِلَى ثَمُوْدَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Ia berkata. ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya’." [Al-A’raf: 73]

Demikian pula dakwah Nabi Syu’aib ‘alaihissalam, sebagaimana firman-Nya:

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya’." [Al-A’raf: 85]

Namun dalam hal hukum dan syariat yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka, terjadi perbezaan antara syariat seorang rasul dengan rasul yang lainnya, sesuai dengan kemaslahatan dan hikmah yang Allah kehendaki atas mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

"Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang." [Al-Ma`idah: 48]

Qatadah rahimahullahu berkata dalam menafsirkan ayat ini:

"Syir’atan wa minhajan adalah jalan dan metod (sunnah). Sunnah mereka berbeza-beza: Taurat memiliki sunnah sendiri, Injil memiliki sunnah sendiri, Al-Qur`an juga memiliki sunnah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan padanya apa yang Dia inginkan dan mengharamkan apa yang Dia inginkan sebagai cubaan, agar Dia mengetahui siapa yang taat dan siapa yang bermaksiat. Akan tetapi agama-Nya satu yang tidak diterima selainnya: tauhid dan ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itulah yang dibawa oleh para rasul.” Dalam riwayat lain beliau mengatakan: “Agama satu dan syariat berbeza." [Lihat Tafsir At-Thabari]

Ini dikuatkan dengan hadits yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاْلأَنْبِيَاءُ أَوْلاَدُ عَلاَّتٍ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِيْنُهُمْ وَاحِدٌ

"Para nabi itu saudara seayah, ibu-ibu mereka berbeza dan agama mereka adalah satu." [Muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]

Al-Munawi berkata dalam Al-Faidhul Qadir (3/62):

"Iaitu pokok agama mereka satu yakni tauhid, dan cabang syariat mereka berbeza-beza. Tujuan diutusnya para nabi iaitu membimbing seluruh makhluk diserupakan dengan ayah yang satu, sedangkan syariat mereka yang berbeza bentuk dan tingkatannya diserupakan dengan para ibu. Al-Qadhi berkata: ‘Kesimpulannya bahwa tujuan utama dari sebab diutusnya mereka semua adalah mengajak seluruh makhluk untuk mengenal kebenaran dan membimbing mereka menuju sesuatu yang mengatur kehidupan dunianya, serta memperbaiki hari di saat mereka kembali. Mereka sama dalam pokok ajaran ini, meskipun berbeza-beza dalam cabang-cabang syariat.


Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan pokok yang terjadi kesamaan di antara (dakwah) mereka dengan ungkapan ‘ayah’ dan menisbahkan mereka kepadanya. Dan beliau mengibaratkan perbezaan mereka dalam hal hukum dan syariat yang dari sisi bentuk dan tingkatannya dalam hal tujuannya dengan ungkapan ‘para ibu’. Walaupun berjauhan zaman dan kurun mereka, namun asal yang menjadi sebab mereka dikeluarkan dan diutus adalah satu, yaitu agama haq yang Allah telah menjadikannya sebagai fitrah bagi manusia yang siap menerimanya, tegak di atasnya, dan berpegang teguh dengannya. Berdasarkan hal ini, maka yang dimaksud dengan para ibu adalah zaman-zaman di mana mereka diutus."

Namun setelah diutusnya Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka syariat telah sempurna. Tidak lagi ada hukum yang benar kecuali apa yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ

"Dan Kami tidak mengutusmu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." [Saba`: 28]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

"Dan adalah nabi terdahulu diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia." [Muttafaq ‘alaihi dari hadits Jabir]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:

"Telah diketahui secara pasti dari agama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah disepakati umat ini bahawa pokok ajaran Islam, dan hal yang pertama kali diperintahkan kepada seseorang adalah: syahadat La Ilaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Dengan itu seorang yang kafir menjadi muslim, musuh menjadi kawan, yang halal darah dan hartanya menjadi terjaga darah dan hartanya. Kemudian jika syahadat tersebut berasal dari hatinya, maka dia telah memasuki tingkatan keimanan. Namun jika dia hanya mengucapkan dengan lisannya tanpa keyakinan hatinya, maka dia secara lahiriah menampakkan Islam tanpa keimanan dalam hati. Adapun orang yang tidak berucap dengan lisannya, padahal dia mampu melakukannya, maka dia kafir secara zhahir dan batin berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menurut pendahulu umat ini dan para imamnya serta majoriti para ulama." [Fathul Majid, hal. 113]

Skala Prioriti dalam Berdakwah

Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran yang sangat penting,khususnya bagi seorang da'ie yang mengajak manusia menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahawa dalam memikul amanah dakwah, hendaklah kita selalu berusaha mengikuti tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan sentiasa mendahulukan skala prioriti dalam menyampaikan agama, dengan menerapkan al-bad`u bil aham fal aham (mendahulukan yang terpenting kemudian yang terpenting berikutnya).

Para nabi menjadikan inti dakwah mereka memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala sebab walaupun mereka mengamalkan amalan yang lainnya, tapi bila tidak disertai memurnikan tauhid dalam beribadah kepada-Nya, maka hal tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِيْنَ كَذَبُوا عَلَى اللهِ وُجُوْهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِيْنَ

"Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri." [Az-Zumar: 60]

Dan juga firman-Nya:

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُوْنَ

"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, nescaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." [Al-An’am: 88]

Inilah yang dajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Jika Rasulullah mengutus salah seorang mereka untuk berdakwah, beliau menasihatinya untuk memulai dakwahnya dengan yang terpenting. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa tatkala Rasulullah mengutus Mu’adz radhiyallahu 'anhu ke Yaman, beliau berpesan:

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِذَا عَرَفُوا اللهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ، فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ

"Sesungguhnya engkau mendatangi kaum dari ahli kitab, hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka beribadah (mentauhidkan) hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika mereka telah mengenal Allah, maka khabarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu pada setiap hari dan malam. Jika mereka telah melakukan itu maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka telah menaatinya, maka ambillah dari mereka dan berhati-hatilah dari harta yang sangat berharga milik mereka." [Muttafaq ‘alaihi dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu untuk memulai dalam berdakwah dengan hal yang terpenting untuk mereka.

Wallahu a’lam.

P/S (suntingan oleh Ibn Mustofa): Fenomena yang sama sekali berbeza dengan mereka yang terlibat secara langsung dengan harakah islamiyyah saat ini. Mereka menyeru insan untuk turut serta melaksanakan dakwah dan memperbaiki diri, namun mereka membiarkan mad'u mereka terkapai-kapai, islam apa yang perlu diseru?

Saya melihat ada kelompok yang hanya menyeru insan supaya berdakwah menuju Islam yang syumul, namun, jika dilihat, dalam seruan mereka itu, tidak ternampak pun penjelasan tentang prinsip Islam yang syumul tu. Hanya seruan untuk bergerak. Seumpama mencipta robot-robot yang hanya tahu bergerak melaksanakan tugas.

Ketika dicadangkan kepada mereka, supaya diselitkan juga elemen-elemen tasfiyyah (pemurniaan yang meliputi akidah, manhaj, ibadah dan akhlak sebagaimana yang difahami generasi Islam terawal) lantas ada memperli, tak kurang ada yang tak mengendahkan langsung kepentingan tasfiyyah sebagaimana yang dipercontohkan baginda Nabi SAW.

Renungi hadits di atas, perkara-perkara seperti akidah dan ibadah yang shahih bukanlah perkara yang boleh diremehkan sama sekali dan diletakkan dalam senarai prioriti yang terbawah.

Ada yang mendakwa mereka meletakkan perkara ibadah di prioriti yang kedua atau seterusnya, namun yang mereka lakukan bukanlah meletakkan ibadah sebagai prioriti yang seterusnya, HAKIKATNYA mereka langsung tidak mengambil endah dan mengeluarkannya dari senarai prioriti mereka!!! Prioriti kedua pada mereka bermaksud pengabaian dan tidak perlu. Ini boleh dinilai melalui perilaku mereka, setelah bertahun-tahun ditarbiyyah, langsung atau hampir tiada (kalau ada pun dalam kuantiti yang sedikit) bahan rujukan milik persendirian atau menyimpan hasrat untuk milikinya. Tidak pernah ada keinginan untuk pergi bertalaqqi ke kuliah-kuliah pengajian agama dan selainnya.
Italic Italic
Maka, setelah 5-10 tahun ditarbiyyah ada yang membaca al-Quran pun tak betul. Kenapa? Kerana tiada effort untuk menuntut ilmu. Ini bukan tuduhan rambang.

Wallahu'alam. Sikap sebegini wajib diperbetulkan. Kita tak maksudkan semata-mata tasfiyyah, tapi yang kita maksudkan adalah teruskan agenda tarbiyyah tanpa mengabaikan tasfiyyah.

0 comments:

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template